Renungan Harian

Renungan Harian 02 Mei 2024

Bacaan Liturgis – PW Santo Atanasius, Uskup dan Pujangga Gereja, Kamis, 2 Mei 2024

  • Bacaan Pertama: Kisah Para Rasul 15:7-21

  • Mazmur Tanggapan: Kisahkanlah karya-karya Tuhan yang ajaib di antara segala suku.

  • Ayat Mazmur Tanggapan: Mzm 96:1-2a.2b-3.10

  • Ayat Bait Pengantar Injil: Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku, sabda Tuhan. Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku. Alleluya.

  • Bacaan Injil: Yohanes 15:9-11

Renungan Singkat : Hidup dalam Kasih Mendatangkan Sukacita

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, hari ini Gereja merayakan peringatan Santo Atanasius, seorang Uskup dan Pujangga Gereja asal Aleksandria, Mesir. Ia meninggal pada 2 Mei 373 dalam usia sekitar 75-79 tahun.

Santo Atanasius digelari Pujangga Gereja karena sebagai seorang uskup dia dengan gigih memerangi bidaah Arianisme pada zamannya. Bidaah ini menyangkal ke-Allah-an atau keilahian Kristus. Mereka menyangkal bahwa Kristus itu sungguh Allah. Ia juga banyak menulis buku yang menjelaskan dan sekaligus membela iman yang benar akan Kristus.

Dalam salah satu bukunya Santo Atanasius menjelaskan bahwa oleh Roh Kudus kita mengambil bagian dalam Allah. Oleh karena itu, kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Dengan demikian, kita atau mereka, di dalam siapa Roh Kudus yang dikaruniakan Allah itu tinggal, telah diilahikan (bdk. Kis 15:8-9).

Melalui Pembaptisan dan Krisma, kita mengambil bagian dalam Roh, maka kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi; hidup kita diilahikan. Itulah sebabnya Santo Atanasius menjelaskan bahwa Sabda Allah menjadi manusia, supaya kita diilahikan (lih. Katekismus Gereja Katolik, No. 460). Dengan hidup dalam iman yang benar akan Kristus, kita diilahikan. Bukankah ini adalah martabat yang sungguh agung, luhur dan mulia? Sebuah martabat yang mesti selalu kita syukuri, jaga dan pelihara sehari demi sehari sepanjang hidup kita.

Jika kita membaca dan merenungkan Injil hari ini, kita semakin diteguhkan bahwa selain diilahikan Yesus menghendaki agar kita mengalami secara pribadi kasih Allah sebagaimana Yesus telah mengalaminya. Karena itu Yesus berkata, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yoh 15:9).

Yang Yesus terima dan alami dari Bapa-Nya adalah kasih; kemudian, kasih yang dari Bapa itu diberikan kepada murid-murid-Nya. Dengan demikian, kasih yang diterima dan dialami oleh para murid adalah kasih dari Bapa yang dialirkan atau diteruskan oleh Yesus kepada mereka. Jadi, Yesus dan para murid menerima dan mengalami kasih yang sama, kasih Bapa. Supaya kasih Bapa benar-benar menjadi pengalaman pribadi para murid, maka Yesus mengundang mereka: “Tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (ay. 9b), yang tidak lain adalah kasih yang dari Bapa.

Dengan tinggal di dalam kasih Yesus, yang juga adalah kasih Bapa, maka, kata Yesus, “Sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (ay. 11). Inilah yang diinginkan oleh Yesus, hidup yang ditandai dengan penuh sukacita. Ia ingin agar apa yang Dia alami dari Bapa-Nya, yakni kasih-Nya, juga mereka alami. Yesus tidak pernah egois.

Hidup penuh sukacita dialami oleh karena tinggal di dalam kasih Yesus, yang mengalir dari kasih Bapa. Kasih dari Yesus yang mengalir dari Bapa inilah yang membuat para murid mengalami sukacita secara penuh, “Supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (ay. 11). Dengan demikian, jelas dan benar bahwa sukacita adalah buah dari kasih.

Oleh karena itu, kita perlu menanggapi undangan Yesus untuk senantiasa tinggal di dalam kasih-Nya. Tanpa pengalaman hidup dalam kasih Yesus, yang adalah kasih Bapa, kita tidak dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan (Ef 3:18-19). Tanpa hidup dalam kasih Kristus, kita tidak mengalami sukacita, sebab sukacita adalah buah dari kasih.

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, kita dikasihi lebih dahulu supaya bisa mengasihi (bdk. 1Yoh 4:19). Kita dikasihi Yesus supaya kita bisa mengasihi sesama. Kesanggupan untuk berbagi kasih inilah yang melahirkan sukacita. Paus Fransiskus menyebutnya: Sukacita Kasih.

Seperti dalam Seruan Apostolik Amoris Laetitia tentang Sukacita Kasih, Paus Fransiskus mengatakan, “Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa banyak keluarga yang hidup dalam kasih, memenuhi panggilan mereka dan terus melangkah maju, walaupun mereka jatuh berkali-kali sepanjang jalan mereka” (Amoris Laetitia, No. 57). Lebih lanjut Paus Fransiskus menjelaskan bahwa sukacita orang yang mengasihi dan merasa senang dengan kebaikan yang dialami oleh orang-orang yang mereka kasihi, yang mengalir kepada orang lain, menghasilkan buah yang baik bagi dirinya sendiri (Ibid., No. 129), yakni sukacita.

Saudara-saudari, kekasih Tuhan, mari kita senantiasa tinggal di dalam kasih Yesus, mengalami kasih-Nya yang dari Bapa. Dengan demikian, kita bisa mengasihi sesama dan bersukacita atas kebaikan atau kemajuan yang dialami oleh orang-orang yang kita kasihi, sebab buah kasih adalah sukacita. Hidup dalam kasih mendatangkan sukacita.

[RP. A. Ari Pawarto, O.Carm.]